InfoAntiGalau - SEBUAH layar bergambar menempel di langit-langit kamar.
Layar berbentuk persegi panjang berukuran 1 x 1,2 meter itu berisi
gambar bergerak yang menampilkan resolusi warna yang sangat sempurna.
Kukedipkan mataku, gambar layar berubah.
Ya, Televisi itu hanya membutuhkan kedipan mata untuk mengubah channel
stasiun TV. Tidak seperti 10 tahun yang lalu, teknologi TV saat ini
telah menggunakan perangkat canggih yang telah dihubungkan dengan sensor
syaraf otak manusia. Sensor pada remote 10 tahun yang itu telah diganti
dengan sensor cornea mata manusia. Melalui pemindaian yang telah di
setting sebelumnya, antara cornea mata yang empunya TV dengan sensor
otomatis pada TV, maka hanya dengan cornea mata yang telah discan lah
yang bisa merespon teknologi sensorik ini.
Pesawat TV pun bentuknya sudah sangat berbeda dengan dulu. Boks TV hanya
berukuran 10 x 15 Cm, yang diset sedemikian rupa sehingga mampu
memproyeksikan gambar pada bidang datar yang ada, seperti alat proyektor
LCD pada beberapa tahun yang lalu.
Kukedipkan mataku, channel pun berubah. Di layar tampak program TV yang
secara substansi tidak banyak berubah dengan 10 tahun yang lalu.
Sinetron, intertainment, reality show, audisi, berita, kuiz berhadiah
adalah beberapa program yang banyak menghiasi stasiun TV swasta saat
ini. Yang agak beda adalah jumlah stasiun TV yang menjamur seperti jamur
dimusim penghujan. Bertambah banyak, karena hampir setiap tahun ada
stasiun TV baru di launching.
Kuhentikan kedipanku pada acara berita sore, program kesayanganku pada
saat santai sore hari seperti ini. Aku khitmad menyaksikan berita yang
merupakan hasil reportase pagi hingga sore tadi. Kemarau panjang menjadi
headline siaran berita di berbagai stasiun TV.
Upaya pencegahan global warming yang pada dasawarsa yang lalu ramai
diperbincangkan ternyata tidak memberi effek nyata pada kehidupan saat
ini. Ini buktinya, kemarau yang berkepanjangn di salah satu daerah di
Jawa Tengah, di sisi lain di salah satu daerah di Kalimantan terjadi
banjir bandang yang luar bisa memorak-porandakan bangunan.
Dulu semua negara dengan angkuhnya berkumpul, mengadakan konferensi
untuk menangani pemanasan global, tapi setelah 10 tahun, industri yang
menghasilkan gas rumah kaca semakin bertambah pesat, intensitas
pembakaran hutan untuk lahan pertanian juga semakin mengharu biru, belum
lagi kasus illegal loging yang pelakunya melenggang dengan santai tanpa proses hukum, tentu saja karena sang pelaku punya backing-an pejabat penguasa negeri ini. “Kiamat sudah dekat,” batinku, meniru salah satu judul film yang sempat tren 10 tahun lalu.
Aku mungkin salah satu penduduk pribumi yang beruntung di negeri ini. Di
saat pribumi yang lain makan nasi aking sebagai makanan pokoknya, aku
bisa hidup bagaimana kehidupan orang kota pada umumnya. Di saat warga
Negara Indonesia yang lain, mengantre makan dalam tenda-tenda
pengungsian, aku yang lulusan S2 ini mampu makan dengan berbagi menu,
sesuai selera.
*********
Seperti biasa, waktu yang di tunggu-tunggu oleh para marketing pun tiba.
Ya berita harus jeda sejenak untuk iklan. Iklan lah pemilik kedaulatan
atas negeri pertelevisian. Nah ini yang sangat kontras dengan 10 tahun
yang lalu. Sama seperti dulu, iklan kosmetik masih merajai promosi di
layar kaca.
Tampak seorang wanita bertubuh sintal memamerkan wajahnya yang tampak
berseri setelah menggunakan sebuah lotion wajah. Setelah itu banyak para
pemuda yang terkesima melihat wajah jelita gadis tersebut tanpa
berkedip. Konsep iklan tidak jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Di
sinilah letak kontrasnya, kalau 10 tahun yang lalu lotion wajah itu
bertuliskan “pemutih wajah” maka sekarang lotion tersebut bertulis
“penghitam wajah”. Gadis bintang iklan tersebut adalah gadis berkulit
hitam, seperti orang dari Indonesia bagian timur.
Ya......dunia telah berubah, entah mulai kapan. Yang jelas sejak Barack
Obama, Presiden kulit hitam terpilih menjadi Presiden Amerika 10 tahun
yang lalu dominasi kulit hitam sangat menonjol di Amerika. Bahkan,
sampai saat ini, efek kulit hitam itu pun masih terasa. Titik balik di
Amerika, salah satu Negara kiblat mode di dunia, juga menyebar ke
seluruh penjuru dunia. Hatta di sini, di negeri Nusantara tercinta.
Tak pelak lagi, titik balik itu juga berlaku di Indonesia. Artis-artis,
bintang sinetron, presenter, penyayi kebanyakan adalah orang-orang yang
berlatar belakang kulit hitam. Orang-orang yang berkulit putih seakan
mengalami sindrom “minder” yang 10 tahun dulu dialami orang kulit hitam.
Yang agak beruntung adalah orang-orang melayu dan jawa. Ras yang
kebanyakan berwarna kulit sawo matang ini mudah beradaptasi.
Dulu orang kulit coklat ini banyak berduyung-duyung ke salon kecantikan,
untuk mengoperasi kulit sawonya sehingga menjadi putih bersih berkilau,
seperti bunyi iklan pemutih waktu itu. Sekarang orang-orang Jawa ini
membanting kompas, menghitamkan warna sawonya menjadi hitam arang. Yang
tampak aneh, adalah orang yang dulu berkulit hitam. Karena tren waktu
itu, mengubah kulitnya menjadi putih. Dan sekarang mengembalikannya lagi
ke hitam lagi.
“Dunia sudah terbalik,” gumamku, sambil menggelengkan kepala. Inilah
janji Tuhan,” Pada hari itu, akan Kami putar (nasib) manusia,” begitu
inti sari salah satu ayat kitab suci, yang aku dengar beberapa waktu
yang lalu dari Khotib Salat Jum’at.
Memang, hidup itu seperti komidi putar. Selalu berputar, kadang kita
berada di posisi bawah, tengah, dan terkadang di puncak. Itulah
sunnatullah, hukum alam. Gerakan anti apartheid yang dulu diperjuangkan
tokoh kulit hitam Nelson Mandela di Afrika, atau Martin Luther King Jr
di Amerika seakan mencapai titik kulminasinya. Dan sekarang, hari ini,
kaum kulit putih pun melakukan hal yang sama, membentuk gerakan –gerakan
pembelaan terhadap diskriminasi ras. “Kekuasaan itu cenderung korup”
begitu bunyi sebuah adagium. Nyatanya, ketika mayoritas berkuasa,
merekapun menjadi sewenang-wenang, diskriminatif dan menindas minoritas.
*********
Kijang Inova berseri B 2328 BZ Keluar dari garasi. Setelah meninggalkan
gerbang rumah yang cukup besar, seorang penjaga menutup kembali pintu
gerbang tersebut. Di dalam Kijang Inova, duduk dua orang setengah baya
di jok paling depan. Itulah aku dan istriku, yang pagi-pagi harus
meninggalkan rumah menuju rutinitas kerja. Di kaca depan sebelah atas,
terpampang jam digital kecil dengan format: jam, tanggal/bulan/tahun.
Sambil menyetir, kulirikkan mataku ke arah jam berlayar merah itu.
”Sudah jam setengah tujuh,” kataku kepada istriku, sambil sesekali
memandangnya. Hari ini Senin, 16 Juli 2018, adalah hari pertama kerja
bagi Istriku, setelah beberapa minggu liburan panjang kenaikkan kelas.
Istriku, seorang guru SMA Negeri di ibu kota harus sampai di sekolah
tepat jam tujuh. Karena akan ada upacara bendera yang pertama di tahun
ajaran baru.
Mobil berhenti karena lampu merah. Di hadapanku sebelah kanan, tampak
baliho besar bergambar seorang gadis berkulit hitam tersenyum sambil
membawa sebuah botol. Seakan berkata “Pakailah Lotion ini, maka wajah
anda akan hitam berkilau seperti saya”. Ya, gadis itu membawa produk
kecantikan bertuliskan “Punds, lotion penghitam wajah”. Di sampingnya
tampak tulisan besar berbunyi “Buktikan dalam 7 Minggu Pemakaian,
Rasakan Hasilnya!”.
“ Bune ingin seperti gadis itu?”, kataku menggoda sambil menunjuk ke
arah baliho besar itu. “Walah Pakne, lha wong udah tua gini kok
neka-neko,” jawabnya dengan logat Jawa kental. Maklum kami berdua asli
Jawa Tengah, Kudus tepatnya. Karena Istriku diterima menjadi PNS di
Jakarta 12 tahun yang lalu kami boyong ke Jakarta.
“ Iya ya Bune…, dunia sudah terbalik sekarang” gumamku, seakan prihatin.
“Tapi Pakne masih cinta kan sama Bune?”, tanyanya manja. “ Pakne masih
suka kan sama wajahku yang sawo matang ini”, tambahnya menggoda. “Iya
Bune, saya suka dengan wajah Bune yang alami. Dulu ketika orang
berbondong-bondong memutihkan wajahnya ke salon, Bune tetap bertahan
dengan wajah sawo matang agak bosok itu.
Ternyata Tuhan seakan menguji kita. Coba kalau dulu Bune tergiur dengan
iklan pemutih itu, kan malu kita sama Tuhan…” paparku agak panjang. “
Iya Pakne… Gusti Allah memang maha adil. Gusti Allah menciptakan manusia
dengan warna kulit yang berbeda adalah bukti keadilannya“, Jawab
istriku, bangga. Seakan bersyukur dengan sepenuh hati atas keadaannya
selama ini.
Tak terasa SMA yang kami tuju telah ada di depan mata. Setelah istriku
turun dan mencium tanganku, akupun memalingkan mobil dari SMA tersebut.
“Cantik itu relatif, sesuai tren zamannya….” batinku, sambil tertawa
kecil.
Kedung Banteng, pada suatu ketika
Muhamad Mustaqim
Dikutip dari: www.okezone.com